1. Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM)
Manusia adalah
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kesempurnaanya.
Salah satu kesempurnaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia
adalah “akal dan pikiran” yang membedakannya dengan makhluk lain. Sejak
diciptakan dan dilahirkan manusia telah dianugerahi hak-hak yang melekat pada
dirinya dan harus dihormati oleh manusia yang lainnya. Hak tersebut disebut
juga dengan hak asasi manusia (HAM).
Hak asasi
manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia
diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang
tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan
langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak asasi manusia
terdiri atas dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka akan sangat sulit untuk menegakkan
hak asasi lainnya.
Pengakuan
terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap
segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian,
kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk
menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun
terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut. Tuhan memberikan sejumlah hak
dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.
Selanjutnya,
John Locke seorang ahli ilmu Negara dalam buku Sistem Pemerintahan Indonesia
Tahun 2012 karangan Trubus Rahardiansyah menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak sifatnya sangat
mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak
bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Selain
John Locke, terdapat pula tokoh nasional yang memberikan batasan tentang hak
asasi manusia. Beliau adalah Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto, dalam buku Sistem Pemerintahan Indonesia (2012)
karangan Trubus Rahardiansyah yang menjelaskan hak asasi manusia adalah hak
yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya
yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan
rumusan-rumusan hak asasi manusia tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa HAM
merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati,
dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.
Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
ialah menjaga kese-lamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan. Keseimbangannya adalah antara hak dan kewajiban serta
keseimbangan antara kepentingan perseorangan
Info
Kewarganegaraan
Selanjutnya agar lebih mendalami perlindungan
dan pemajuan HAM, kalian buka dan pelajari makna tersebut dalam website Komnas
HAM atau sumber lain yang relevan.
dengan
kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah
(aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer), dan negara. Jadi, dalam
memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan, kepentingan
tersebut tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum).
Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti
dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (tanggung jawab
asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Dalam
penerapannya, hak asasi manusia (HAM) tidak dapat dilepaskan dari kewajiban
asasi manusia (KAM) dan tanggung jawab asasi manusia (TAM). Ketiganya merupakan
keterpaduan yang berlangsung secara seimbang. Bila ketiga unsur asasi yang
melekat pada setiap individu manusia (baik dalam tatanan kehidupan pribadi,
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan pergaulan global) tidak berjalan
seimbang maka dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan dan
kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan manusia.
Beberapa
ciri pokok hakikat HAM berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, yaitu sebagai
berikut.
a. HAM
tidak perlu diberikan, diminta, dibeli, ataupun diwarisi. HAM adalah bagian
dari manusia secara otomatis.
b. HAM
berlaku untuk semua orang tanpa melihat jenis kelamin, ras, agama, etnis,
politik, atau asal-usul sosial dan bangsa.
c. HAM
tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Oleh karena itu,
apabila HAM dilanggar oleh seseorang atau lembaga negara atau sejenisnya maka
akan dikenai hukuman.
2.
Upaya
Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
a. Periode
Tahun 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak
untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu
prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai
sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada
periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945 yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyatakan:
“…sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan
umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu
benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin
sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan
disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945 yang antara lain menyatakan sebagai berikut.
1)
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke
jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2)
Pemerintah berharap partai-partai itu telah
tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat
pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah
adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut.
“Pemerintah Republik Indonesia setelah
mengalami ujian-ujian yang ketat dengan
selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa
saat sekarang sudah tepat utnuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna
menyempurnakan tata usaha
negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting
dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di
dalam tangan menteri”.
b. Periode Tahun 1950 - 1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan
sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang
menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan
tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan
dalam buku “Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia menyatakan bahwa
pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati
“bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5
(lima) aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan
beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu
pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum
sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam suasana kebebasan, fair
(adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai
representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai
wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima,
wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di
Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi
sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD
serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante
keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
c Periode
Tahun 1959 - 1966
Pada
periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin
sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada
sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan
Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak
asasi manusia, yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat
berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif
(pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga
negara.
d.
Periode
Tahun 1966 - 1998
Setelah terjadi
peralihan pemerintahan dari
Soekarno ke Soeharto,
ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah
diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk
wilayah Asia. Selanjutnya, pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II
yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain
diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui
Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan
rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan
Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka,
Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut.
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah
hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan
hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a. antarmanusia dengan
manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antarBangsa.
Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak
individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat”.
Sementara
itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi
dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap
penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta
bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah
pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umumnya membangun
pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah
produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia sudah
terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang
lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap
pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh
negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti
halnya Indonesia.
Meskipun
mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada
periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM. Upaya
masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional
terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus
Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya
yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh
hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari
represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini
bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu,
Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal
HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo, dan deklarasi atau
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
e. Periode Tahun 1998 - Sekarang
Pergantian
pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan
dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap
beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan
pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan ratifikasi terhadap
instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian
tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya
yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen
internasional dalam bidang HAM.
Strategi
penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap status
penentuan (prescriptive status) dan
tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status)
telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti amandemen konstitusi negara
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan MPR (TAP
MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Adapun,
tahap penataan aturan secara konsisten (rule
consistent behaviour) mulai dilakukan pada masa pemerintahan Presiden
Habibie. Tahapl ini ditandai dengan penghormatan dan pemajuan HAM dengan
dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya
(diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan Kejam Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppres
Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU
Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan
Jabatan dengan UU Nomor 21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU Nomor 20/1999. Selain itu, juga
dicanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” pada tanggal 15 Agustus 1998
yang didasarkan pada empat hal sebagai berikut.
1. Persiapan
pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
2. Desiminasi
informasi dan pendidikan bidang HAM.
3. Penentuan
skala prioritas pelaksanaan HAM.
Pelaksanaan
isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui
perundang-undangan nasional.
Share :
0 comments:
Post a Comment