Terimakasih sudah berkunjung ke blog saya, jangan lupa untuk meninggalkan jejak ya dengan memberi comment pada postingan saya.

Terapi Konseling dengan Hipnoterapi

Cerita yang cukup memilukan, tetapi makin sering terdengar. Pola-pola kejadiannya selalu sama. Seorang yang sendirian di tempat yang asing atau tempat yang ramai didekati oleh seorang atau beberapa pria asing. Ia disapa dengan ramah dan sopan sebagaimana berlangsung dalam pertemuan biasa. Namun, akhirnya ia menyerahkan dompet, perhiasan, atau harta benda lain kepada si pria asing itu, seakan-akan dengan sukarela. Bahkan terjadi, ia mengantar pria asing itu ke bank, menarik uang berjuta-juta rupiah dari rekeningnya dan memberikan semuanya kepada orang yang
tidak dikenal itu. Setelah pria asing itu pergi, baru ia menyadari bahwa ia menjadi korban penipuan. Semuanya dilakukannya dalam keadaan terhipnotis.
Dari sepenggal cerita di atas kita mungkin bisa berpendapat bahwa hipnosis atau hipnotis adalah suatu hal yang negatif dan merupakan suatu cara untuk melakukan suatu kejahatan.
Hipnosis Adalah mitos bahwa hipnosis adalah sama dengan keadaan tidur. Justru hipnosis memperkuat konsentrasi. Dengan konsentrasi ini pula, hipnosis memindah konsentrasi otak dan aliran darah otak dari bagian otak yang disebut Gyrus Frontalis. Yakni tempat tersimpannya memori permanen dan ''otak berpikir'' kita ke arah Gyrus Cinguli, Amydala dan Hippokampus. Ketiga bagian terakhir ini menyimpan memori jangka pendek, memori belajar dan memori sedang yang mengandung muatan-muatan emosi. Termasuk muatan emosi traumatik.
Untuk terapi hipnosis pascatrauma, seperti pascatrauma tsunami di Aceh, tokoh utama di bidang ini adalah Hebert Spiegel dan Daniel Spiegel, dokter dan psikiater dari Stanford University Amerika. Mereka menemukan teknik hipnosis yang sangat terkenal untuk GSPT dalam hipnoterapi. Yakni ''Teknik Layar'', pasien dalam keadaan terhipnosis memvisualisasikan kejadian traumatiknya di layar bayangan-nya. Seakan-akan pasien sedang melihat peristiwa traumatik yang dialami seseorang di televisi bayangannya dengan pemerannya adalah pasien itu sendiri.
Keadaan ini sebenarnya adalah salah satu teknik untuk memanggil kembali memori traumatik dari bagian otak amydala dan hippokampus. Dengan supresi ini maka proses abreaksi pada pasien akan terjadi. Bisakah proses ini dilakukan tanpa hipnosis?, jawabannya sulit sekali. Mengapa? Otak yang Ajaib Saat dalam alam kesadaran penuh dan dalam keadaan waspada penuh, sebenarnya otak yang aktif adalah ''Otak Berpikir'' yang ada dilokasi terdepan, disebut Gyrus Frontalis. Dalam keadaan tidur dan hilang kewaspadaan, secara tidak sengaja mengistirahatkan ''otak berpikir'' dan bagian otak yang aktif adalah otak tengah (mid-brain). Di mid-brain inilah terdapat struktur dan bangunan-bangunan otak, seperti amydala, hippokampus, thalamus dan bagian lainnya.

Pangkal syaraf-syaraf otak dan fungsi vegetatif manusia meliputi makan-minum dan seks ada di bagian thalamus ini. Dalam keadaan hipnosis, dengan sengaja mengistirahatkan ''otak berpikir'' (Gyrus Frontalis) dan mengaktifkan ''otak tengah'' sehingga mengaktifkan memori-memori sedang, dan pendek termasuk memori traumatik. Inilah yang disebut alam nir-sadar. Dalam keadaan sadar penuh, yang paling aktif ''otak berpikir'', dan proses jawaban atas rangsang dari luar ditanggapi oleh bagian otak ini. Pada saat yang sama, jika ada tanggapan dari bagian nir-sadar misal pada konflik emosional, maka ''otak berpikir'' akan melakukan filter, menahan, menganalisa, mengasosiasikan dan menerjemahkannya dalam bentuk pikiran serta tindakan berdasar otak berpikir ini.

Beda dalam keadaan hipnosis, ''otak tengah'' tidak mampu melakukan analisa dan filter atas suatu rangsang dari luar, misalnya perintah. Maka bila seseorang dalam keadaan hipnosis, ia tidak mampu melawan perintah juru hipnotisnya. Justru malah mengikuti perintah-perintah juru hipnotis yang kadang-kadang konyol. Jadi memang ''otak tengah'' tidak mampu berpikir analitik atas rangsang.

Pada saat datangnya suatu kejadian hebat yang traumatis (bencana alam, perkosaan, korban kriminalitas, korban peperangan), pada saat itu pula data yang masuk melalui lima indera (penglihatan, penciuman, pengecapan, pendengaran dan sentuhan), terekam di ''otak tengah'' (thalamus), disimpan secara tidak sadar oleh hippokampus sedangkan muatan emosi tersimpan di amydala. Sementara itu ''otak berpikir'' berusaha menyeimbangkan muatan traumatik yang sangat hebat tersebut dan menetralisirnya dengan cara melakukan rasionalisasi dan denial (penolakan konflik nir sadar dan kecemasan dengan tidak mengakui faktor realita luar yang tidak bisa ditolerir). Misal: menyalahkan pimpinan, keadaan, diri sendiri, mencari-cari sebab-akibat, othak-athik, gathuk-mathuk, mencocokkan ramalan, mencari-cari penyebab sial, dll).
Dalam proses konseling, Hipnosis bisa dilakukan sebagai terapi individual dan kelompok. Dari pengalaman klinis, apabila induksi diberikan oleh orang yang berpengalaman, induksi untuk pengeluaran muatan memori traumatik yang tersimpan di otak didalam terapi kelompok bisa sangat effektif. Seperti yang sering terlihat dalam kelompok-kelompok doa dan majelis, para pesertanya menjadi menangis bersama-sama dan bahkan berteriak, saat pemimpin doa membacakan doa permohonan yang menyayat-nyayat hati.

Untuk terapi hipnosis pascatrauma, seperti pascatrauma tsunami di Aceh, tokoh utama di bidang ini adalah Hebert Spiegel dan Daniel Spiegel, dokter dan psikiater dari Stanford University Amerika. Mereka menemukan teknik hipnosis yang sangat terkenal untuk GSPT dalam hipnoterapi. Yakni ''Teknik Layar'', pasien dalam keadaan terhipnosis memvisualisasikan kejadian traumatiknya di layar bayangan-nya. Seakan-akan pasien sedang melihat peristiwa traumatik yang dialami seseorang di televisi bayangannya dengan pemerannya adalah pasien itu sendiri.

Namun perlu juga disadari, dengan terapi hipnosis memang menakjubkan kekuatan dan kegunaannya untuk gangguan ini, tetapi menginginkan hasil yang cepat justru akan mengakibatkan terapis dan pasien tergelincir pada keyakinan palsu serta kehilangan obyektifitas. Sehingga pengukuran atas penggunaan terapi ini tetap berpegang pada obyektifitas penilaian dari kriteria-kriteria yang ada. Secara garis besar dalam penyakit dan gangguan psikiatri, dikatakan sembuh total, apabila setelah terapi, bebas gejala selama 1.000 hari/3 tahun0e
Share :

0 comments:

Post a Comment

loading...

Advertising

 
close